putri tidur
Dari kecil aku begitu terbiasa melihat kebiasaan ibu yang tidak seperti ibu dari teman-temanku lainnya. Ia selalu memutuskan meninggalkan pekerjaannya yaitu menulis dan membaca untuk kemudian pergi ke peraduan. Ia tak akan pernah benar-benar menuntaskannya, meninggalkan sejenak segala aktivitasnya, tidur, dan baru kembali melanjutkannya. Saat ibu tidur, sering kutemui ada buku dengan halaman terbuka di samping tempat tidurnya. Atau, ada pula tulisan yang terputus saat ia berangkat ke tempat peraduannya. Uniknya, di ambang batas tidurnya, ibu bisa tiba-tiba terjaga untuk melanjutkan sedikit aktivitas. Dan kemudian, ia akan benar-benar meneruskan lelapnya.
Ibuku seorang penulis cerita. Dari tangannya bisa berbuih-buih suara kisah mengalir milik tokoh-tokoh antah berantah terciptaa. Sebelum ia mempublikasikan karyanya, akulah pembaca pertamanya. Ia pun penulis idolaku sejak awal aku mengenal aksara.
Tidak hanya pada aktivitasnya dalam menulis atau membaca buku saja kebiasaan ibu untuk yang satu itu muncul. Ibu suka meninggalkanku dalam rasa penasaran ketika dongeng yang diceritakannya belum terputus. Biasanya, ibu suka menceritakan kembali tentang cerita novel yang sedang digarapnya padaku. Dan seperti kebiasaannya, ibu meninggalkanku dengan rasa penasaran pada dongeng dari novel yang belum berujung.
Seperti yang kini ia sedang lakukan. Akhir-akhir ini, ibu sering mendongengkan tentang kisah dari novel terbarunya. Ceritanya tentang seorang puteri cantik yang menunggu pangeran yang datang meminang. Tapi seperti biasanya, ibu suka sekali untuk meninggalkan rasa penasaran pada ambang kantukku berbatas. Ia memilih pergi ke peraduannya dan tidak meneruskan dongengnya.
Ketika ku tanya, ibu tak pernah mau menjawab. Menurutnya seiring waktu, aku pasti akan bisa menemukan jawaban dari teka teki yang selalu membuatku penasaran. Hingga suatu ketika kejadian itu bermula.
Malam itu aku terjaga dari tidur. Ada puteri kecil nakal yang bermain mengitari alam bawah sadarku. Ia adalah seorang puteri cantik dari istana khayalan ibu yang sering ia dongengkan padaku sebelum ku tidur. Seperti diriku yang penasaran akan kelanjutan cerita ibu, puteri kecil itupun menuntut rasa penasarannya padaku atas jalan cerita hidup yang seakan membuatnya terkutuk.
Aku bingung, karena sebetulnya bukanlah kesalahanku bila puteri itu masih belum juga bertemu dengan sang pangeran pujaannya. Ibu lah yang selalu enggan mengakhiri dongengnya. Walaupun di setiap akhir ibu mendongeng, aku selalu ingin tahu bagaimana cerita itu berpangkal. Namun ibu tak pernah menghiraukan. Kasihan, puteri cantik terus mendamba. Pangeran pujaannya terus mengembara. Mereka berdua tak kunjung bersua rupa. Kini, puteri itu datang. Mencariku, mengusikku, menuntutku untuk mempertemukan dirinya dengan sang pangeran pujaan.
“Bantulah aku dengan cerita! Kapan aku bisa bertemu dengannya? Mengapa kisahku selalu terulur kata kisah dari sang pendongeng, dari ibumu jua? Apakah nikmat yang ia rasa?” usiknya menuntut pada suatu ketika di salah satu mimpi tidurku ketika terlelap.
“Mengapa tak kau usik saja mimpi ibuku? Bukankah ia yang membuat cerita alur hidup tentangmu?” elakku.
“Ah, terlalu banyak cerita berpusing di benaknya. Jangankan untuk memintanya. Memasuki alam pikirannya saja aku tak kuasa,” keluh sang putri menderita.
Akhirnya kusampaikan keluhan sang putri pada ibu. Tapi apa jawaban ibu? Hanya anggukan dan senyum penuh arti balasannya sembari menatapku. Siapa yang tak makin penasaran dibuatnya ketika itu. Kini, aku pun seakan tahu bagaimana rasa gundah yang melanda jiwa sang putri ketika mengadu.
Maka akhirnya aku tergerak untuk menulis kisah itu. Melanjutkan dongeng ibu, menuntaskan permintaan sang puteri yang ingin bertemu. Walaupun di lain waktu, ibu tetap terus mendongengkan cerita tentang puteri cantik itu kepadaku sebelum tidur. Namun bagiku, kisah sang puteri dan pangerannya kini ada dalam cerita khayalanku. Aku tahu, ibu masih terus menuliskan cerita novel tentang mereka meski telah berbuku-buku. Tapi, aku pun tetap menuliskan cerita dengan jalan ceritaku.
Malam itu aku mencoba menulis lagi. Kerangka karangan yang kubuat siap menanti untuk diisi dengan rangkaian kata dan kalimat menjalin. Namun setelah semua usaha sudah kuraih, aku masih saja belum mampu menulis walau hanya sebuah kalimat berbait. Bukan satu atau dua jam keadaan itu berpilin. Setengah hari, ide ini ataukah ide itu menenggelamkanku dalam kecamuk pikir. Mata puteri itu berkaca-kaca menatap badai dalam alam kembara kisah tak bertepi. Ia meratap memohon untuk bersanding.
Tapi sayang aku mengantuk. Aku ingin tidur. Semuanya itu masih terjaga mengawasiku di tepi tempat tidur. Tangis sang puteri terdengar mengiang berirama mengiringiku lenaku.
Dalam tidur aku bermimpi semu. Sang puteri merengek sembari menarik-narik gaun tidurku. Ia memohon dan terus memaksa ingin bertemu. Aku menggeleng, bukan karena enggan untuk menurut. Tapi aku ingin kisahnya berakhir romantis dan runut . Juga bukan berdendang picis melulu.
Aku berhasil melepaskan diri dan pergi meninggalkannya. Sampan tidur kukayuh mengembara ke dunia alam jagat mimpi tak bertuan. Dalam kalut aku teringat mata air kisah milik cerita Haroun And The Sea of Stories yang pernah kubaca. Menurut cerita yang ditulis oleh Shalman Rusdie, segala dongeng yang ada di negeri tempat Haroun tinggal, bersumber dari mata air itulah adanya.
Dengan penuh semangat segera kukayuh sampan mengarah ke sana. Ku berharap dapat menemukan aliran mata air kisah milik sang putri yang kuharap ada. Tapi sayang, saat aku tiba di sana, kisah cerita yang ada sedang tercemar oleh ulah Khattam Shud yang membenci dunia cerita. Ini karena menurut Khattam Shud Sang Pangeran Kebisuan, cerita hanya membuat kacau tak berantah. Sebuah lautan cerita adalah sebuah lautan kekacauan. Haroun, putera Rasyid Khalifa sang pendongeng yang menjadi tokoh utama dari buku Haroun And The Sea of Stories itu pun menentangnya. Ia berjuang untuk membersihkan Lautan dan Sungai Cerita.
Di aliran sungai yang berhulu pada Mata Air Cerita, aku dapati kisah sang puteri milikku berakhir jauh dari harapan. Ini akibat ulah Khattam Shud yang berhasil menodai Lautan dan Sungai Cerita. Dalam aliran kisah sungai cerita yang kukembarai itulah cerita hidup Sang Puteri akhirnya bertemu juga dengan pangeran pujaannya. Namun sang putri telah berubah. Puteri itu kini memiliki cambang dan kumis tak beraturan. Sekujur tubuhnya diselubungi bulu seperti kera. Tentu saja, pangeran menjadi takut, terkejut, dan kecewa. Begitu melihat genangan aliran Air Cerita dari Mata Air Cerita milik Haroun and The Sea of Stories, aku urung tuk sudi menggayung dan memilih pergi mengayuh sampan.
Sampan mimpiku membawa aku kembali ke alam sadar. Lampu kamar kunyalakan. Masih pukul dua pagi dan hari belumlah bersinar. Aku melihat coretan-coretan yang belum usai kubuat. Ku coba mengingat-ingat mimpi yang berjalan saat ku tidur sebelumnya. Tak sadar, tanganku sudah menggores kata dan kalimat di lembaran-lembaran kertas. Kertas itu makin penuh dengan tulisanku yang bercerita.
Di kala sadarku itu, aku tulis semua yang tadi berjalan di alam mimpiku. Tentang sungai air mata dan tentang Haroun yang mencoba membersihkannya hingga tak lagi keruh. Tentang cerita sang puteri yang terlanjur telah menjadi sebentuk cerita baru. Dengan berat hati, kutulis pula sang puteri yang berubah tubuhnya menjadi seperti kera berbulu. Tubuhnya menjelma seperti seekor kera karena telah salah menggunakan krim pemutih tubuh. Sementara itu sosok sang puteri membayang meraung menangis dalam benakku. Sedangkan sang pangeran di tengah rasa kecewanya akhirnya pergi juga meninggalkan sang puteri untuk mencari obat penyembuh.
Tokoh puteri dalam cerita itu menggeleng kesal melihat ulahku. Dalam bayangan kelabu, ia berteriak keras memprotes, “Kau tak ubahnya seperti ibumu! Sudah rumit ibumu mengalurkan kisahku berlarut. Kini kau membuat kerumitan lain yang beda tapi sesungguhnya sama tak berujung. Sekali lagi, apakah yang sedang kau nikmati dari cerita hidupku?!”
Kedua alisku bertaut. “Aku hanya ingin kau bertemu dengan pangeranmu dalam balutan kisah yang manis di ujung.” Tak bisa kupungkiri bahwa sesungguhnya memang ucapan sang puteri adalah kebenaran meski menurutku semu. Ku akui, aku telah menganakpinakkan alur kisah itu sendiri demi egoku.
“Kau dan ibumu pasti anak buah Khattam Shud!” maki sang puteri menyudut.
Aku tidak mengangguk. “Sejak awal sudah ku katakan padamu. Sulit untukku menolong alur ceritamu. Biarkan ibuku yang mempertemukan dirimu dengan sang pangeran pujaanmu,” aku berujar lanjut.
Tapi puteri hanya ingin aku yang menyelesaikannya. Ia bosan dengan cara ibu yang mengulur-ulur waktu pertemuan mereka. Dan ia tak ingin aku demikian samanya.
Entah kenapa aku memuncak muak. Banyak yang dipintanya dariku demi hidupnya. Dalam kesal, puteri itu kubunuh enyah. Ia mati dalam cerita. Kukisahkan, pada masa-masa penantiannya akan kedatangan sang pangeran, ia putus asa dan meneguk racun berbisa. Sang puteri membunuh dirinya. Sedangkan sang pangeran di rimba pencariannya tak kunjung menemukan obat yang dicarinya. Ia bertemu dengan siluman naga dan bertempur untuk memperebutkan sebuah mustika yang sanggup menyembuhkan penyakit sang puteri dambaannya. Sang pangeran akhirnya tewas terbunuh dalam pertempuran.
Namun anehnya, ketika cerita itu usai ku buat dan aku tertidur lelap, di dalam mimpiku mereka tetap bersua. Mereka senang dan mengucapkan terimakasih justru kepada ibu dan tak menatapku sedikit jua. Aku hilang pikiran rasa, bagaimana kisah dongeng yang telah kuselesaikan itu berujung tak sama dalam mimpi ku punya.
Paginya aku pergi ke kamar ibu. Kulihat wajah tidur ibu seputih kapas kala itu. Di sebelahnya ada lembaran-lembaran kertas yang ditinggalkannya sebelum tidur. Ku baca satu per satu tulisannya secara urut. Akhirnya kini ku tahu arti mimpiku semalam yang membuatku suntuk. Novel ibu telah usai berujung. Persis seperti mimpiku semalam yang bercerita tentang pertemuan pasangan tersebut. Aku tersenyum dan melirik ke arah ibu. Karena ibu telah mengaikhiri ceritanya itu, kini aku dapat lega karena tak lagi dikejar-kejar oleh sang puteri hingga ke tidurku. Lagipula, bagiku puteri itu sudah mati dalam cerita yang kubuat sendiri dalam alam tak tentu.
Ibu masih terlelap dan belum menyadari kehadiranku. Namun entah, ada yang lain pada tidur ibu kali ini di mataku. Tangannya tertekuk di atas perut. Tubuhnya telentang tenang dengan dada membusung. Selimut terbentang hingga ke bagian dadanya yang terbungkus. Bibirnya tergaris senyum. Rambutnya terurai rapih namun kaku. Dada ibu tak bergerak naik turun.
Sementara itu dalam kertas yang tergeletak di sebelahnya, ibu menuliskan kalimat, “Persembahan terakhir untuk putriku tercinta. Ku tahu sudah, engkau mulai menemukan makna dari teka tekiku semuanya.”
**
Malam itu aku memutuskan meninggalkan pekerjaan menulisku yang membuatku lelah. Masih belum selesai semuanya. Pada styrofoam, ada selembar kertas yang berisi bermacam-macam ide tulisan yang masih belum ku kerjakan. Tapi aku harus terlelap. Semua itu harus belum selesai sekarang. Aku masih ingin memiliki kesempatan untuk membuat kehidupan seribu tahun lagi sejak sekarang. Arwahku selalu berkelana dalam lelap lena mimpiku untuk berkelana. Aku masih selalu ingin kembali dari kelanaku dan berjuang menyambung nyawa berkarya.
Kebiasaan ibu pun ternyata kini menjadi kebiasaan ku juga. Kini ku tahu, ketika aku berada dalam ambang batas sadar, ketika aku mencoba melonggarkan kepenatan yang ada dalam benak, justru di situlah aku bisa menemukan nyawa baru untuk setiap nafas cerita.
Rabu, 12 Desember 2007
Langganan:
Postingan (Atom)